Friday, August 4, 2017

Memprediksi

Irgi seketika bertingkah tidak biasa, mungkin pikirnya aku tidak paham tapi sebenarnya aku sangat mengerti. Tiba-tiba saja dia mengajak pergi, padahal biasanya selalu aku yang meminta lebih dulu.

Terhitung dua tahun kebelakang kami mulai cukup dekat. Bisa dibilang partner in crime. Aku yang sering cerita ini itu, dia yang selalu ikhlas mengantar pulang, Anya yang terus mencari kalau Irgi tidak ada, dan Irgi yang pernah beberapa kali menangis depan Anya. Kemudian satu tahun terakhir, sialnya, aku merasa ada hal yang tidak biasa yang menurutnya itu biasa. Sesuatu yang membuat tiba-tiba tersenyum, sesuatu yang hanya dengan melihatnya saja sudah membuat aku tenang.

Malam itu Irgi sangat milenial, terus tertawa sendiri menatap sesuatu yang katanya seru. Sesekali aku ajak bicara dan setelahnya hening kembali. Tidak bisakah layar itu dikesampingkan? Ada aku yang tidak virtual dan lebih nyata untuk diajak bicara.

Lalu Irgi bilang sulit tidur kemarin malam. Berani bertaruh, semalaman dia berpikir keras untuk malam itu. Setelah makan di warung emperan dekat pasar. Aku berlagak bertanya akan kemana setelah itu. “Ngobrol dulu”, katanya. Kemudian kami pergi dan  aku tidak menghabiskan makan malam dengan alasan kenyang, padahal kehilangan nafsu karena terlalu panik dengan apa yang akan terjadi malam itu. Aku tahu kemana arahnya.

Berjalan dengan angin malam, memilih tempat yang cocok untuk persinggahan. Jauh-jauh berputaran, akhirnya terpilih tempat nongkrong bapak-bapak komplek, tempat duduk yang cukup terang, di samping tembok sekolah dan langsung menghadap rumah. Saling bertukar cerita untuk meleburkan suasana, membangun frekuensi yang sama. Di antara suara-suara kucing komplek mengeong, terdeteksi tanda-tanda serius.

“Ga apa, kan, kalau bicara jujur?” Sumpah, pertama kalinya Irgi seserius ini. Kami duduk bersebelahan. Aku menatap lurus ke depan, sesekali terdistraksi oleh para kucing berkeliaran. Sedangkan dia terus menatapku. Demi apapun, aku malu.

“Anya, lihat sini dong”, protesnya. Aku menurut hanya beberapa detik, lalu kembali ke posisi awal. Aku tidak berani memandangnya terlalu lama, karena tatapannya terlalu menenangkan.

“Kenapa, sih? Lihat sini.”

“Malu, Gi. Kamu ngomong aja, aku denger kok.”

Jauh dari sebelum Irgi mengajak bertemu, aku sudah menyiapkan segala baik dan buruk, serta jawaban-jawaban yang akan keluar dari tuturnya. Benar saja, prediksi tidak meleset. Jadi selama ini aku sudah tahu jawaban dari semua pertanyaan tapi aku hanya belum yakin, hanya berani menebak karena Irgi adalah teka-teki. Lihat saja, mukanya seperti penuh teori.

No comments: