Irgi seketika bertingkah tidak biasa, mungkin pikirnya aku
tidak paham tapi sebenarnya aku sangat mengerti. Tiba-tiba saja dia mengajak
pergi, padahal biasanya selalu aku yang meminta lebih dulu.
Terhitung dua tahun kebelakang kami mulai cukup dekat. Bisa
dibilang partner in crime. Aku yang sering cerita ini itu, dia yang selalu
ikhlas mengantar pulang, Anya yang terus mencari kalau Irgi tidak ada, dan Irgi
yang pernah beberapa kali menangis depan Anya. Kemudian satu tahun terakhir,
sialnya, aku merasa ada hal yang tidak biasa yang menurutnya itu biasa. Sesuatu
yang membuat tiba-tiba tersenyum, sesuatu yang hanya dengan melihatnya saja
sudah membuat aku tenang.
Malam itu Irgi sangat milenial, terus tertawa sendiri menatap
sesuatu yang katanya seru. Sesekali aku ajak bicara dan setelahnya hening
kembali. Tidak bisakah layar itu dikesampingkan? Ada aku yang tidak virtual dan
lebih nyata untuk diajak bicara.
Lalu Irgi bilang sulit tidur kemarin malam. Berani bertaruh,
semalaman dia berpikir keras untuk malam itu. Setelah makan di warung emperan
dekat pasar. Aku berlagak bertanya akan kemana setelah itu. “Ngobrol dulu”,
katanya. Kemudian kami pergi dan aku
tidak menghabiskan makan malam dengan alasan kenyang, padahal kehilangan nafsu
karena terlalu panik dengan apa yang akan terjadi malam itu. Aku tahu kemana
arahnya.
Berjalan dengan angin malam, memilih tempat yang cocok untuk
persinggahan. Jauh-jauh berputaran, akhirnya terpilih tempat nongkrong
bapak-bapak komplek, tempat duduk yang cukup terang, di samping tembok sekolah
dan langsung menghadap rumah. Saling bertukar cerita untuk meleburkan suasana,
membangun frekuensi yang sama. Di antara suara-suara kucing komplek mengeong,
terdeteksi tanda-tanda serius.
“Ga apa, kan, kalau bicara jujur?” Sumpah, pertama kalinya
Irgi seserius ini. Kami duduk bersebelahan. Aku menatap lurus ke depan,
sesekali terdistraksi oleh para kucing berkeliaran. Sedangkan dia terus
menatapku. Demi apapun, aku malu.
“Anya, lihat sini dong”, protesnya. Aku menurut hanya
beberapa detik, lalu kembali ke posisi awal. Aku tidak berani memandangnya
terlalu lama, karena tatapannya terlalu menenangkan.
“Kenapa, sih? Lihat sini.”
“Malu, Gi. Kamu ngomong aja, aku denger kok.”
Jauh dari sebelum Irgi mengajak bertemu, aku sudah
menyiapkan segala baik dan buruk, serta jawaban-jawaban yang akan keluar dari
tuturnya. Benar saja, prediksi tidak meleset. Jadi selama ini aku sudah tahu
jawaban dari semua pertanyaan tapi aku hanya belum yakin, hanya berani menebak
karena Irgi adalah teka-teki. Lihat saja, mukanya seperti penuh teori.
No comments:
Post a Comment