Sunday, July 17, 2016

Mendung Kala Itu

Sore sendu dengan awan gelap saling beradu, langit tak menampakkan birunya.
Kapas putih raksasa kian menyatu, berusaha untuk luapkan seluruh isinya.
Lalu mereka akhirnya jatuh ke bumi dengan malu, menyentuh tanah dan beton-beton ibukota.
Rintik-rintik jadi menyerbu. Rerumputan senang, kembali segar.
Koloni semut bersembunyi, mereka pikir sedang diserang.
Basah jalanan dibatas kaca. Terperangkap dalam pemandangan bulir-bulir air dibalik jendela.
Mereka berkejaran, berlomba memenangkan gravitasi, entah mana yang akan jadi juara.

Dan awan berhenti menangis.
Kini hujan tinggal genangan, merefleksikan langit yang masih kelabu.
Menyisakan romansa dingin menusuk tulang, menyerang otak hingga membeku.
Lalu semua keraguan datang mengusik, segalanya menjadi abu-abu.
Sama seperti suasana diluar sana, tidak hitam dan juga tidak putih.
Tidak berikan jawaban dan semuanya menjadi tabu.


Monday, July 4, 2016

Tak Sampai Dekade

Sekian lama jeda, ponsel usang ini menerima notifikasi dari seorang yang kini hampir tidak pernah muncul. Sekalinya muncul, diabaikan. Kini dia datang dengan lelucon khasnya. Ingin mencairkan suasana, pikirku. Sedikit timbulkan lengkungan di bibir, candaan dia tidak pernah luntur. Aga memang begitu. Dibalik candaan, ternyata dia bermaksud untuk meminta maaf lalu mengucapkan terima kasih. Karena semua sudah jelas, aku terima dengan baik dan membalas segala ucapannya.

Lalu dia bercerita..

"Kemarin aku cerita banyak dengan teman-temanku. Lucu, banyak yang berubah. Ternyata aku memang engga bisa dewasa karena memang watak dan aku engga akan jadi dewasa ketika bersama mereka. Aku pikir dulu yang akan selalu disisiku itu kamu, ternyata masih ada mereka."

Matanya terbuka, benakku berkata. "Laki-laki memang engga pernah lebih dewasa dari perempuan."

"Aku kira kehilangan kamu berarti kehilangan segalanya. Aku berlebihan. Sakit sebenarnya dan aku mati rasa akan apapun. But, I'm fine.", lanjutnya. "Tapi aku pikir memang kita ga cocok."

Dengan pernyataan yang terakhir Aga lontar, aku merasa dia benar-benar baru membuka matanya. Kemana saja selama ini? Kenapa baru sadar? Aku merasakan hal itu sejak pertama kali bersama. Selama lima tahun, tidak ada satu pun yang serupa.

"We are never ever getting back together, right?"

"Who knows." aku singkat.

"Aku tau karena aku sudah menyerah."

"And I'm enjoying my life."

"Aku rasa sudah cukup, aku bakal lanjutkan hidup. Terima kasih untuk tahun-tahun yang menakjubkan."

Dan percakapan berakhir.

Senang, tidak ada perselisihan dalam komunikasi kali ini. Mungkin dia mendapat beberapa wejangan dari temannya yang membuat pola pikirnya berubah dan dapat menerima semua kenyataan.
Dan aku memang menikmati hidup seperti ini. Bebas, tak terikat, tak ada beban, dan tak perlu lagi sulit menghitung berapa tahun lagi menuju satu dekade.