Friday, September 25, 2020

Kepingan Potong Rambut

Tiba-tiba, teringat akan sesuatu yang dulu sering dilakukan dan baru saja terjadi lagi, seakan mengulang memori dan ternyata masih sangat melekat erat hingga mengundang rindu. Mari mundur agak jauh, ketika aku masih berseragam putih biru.


-


Pagi di akhir pekan dengan riuh suara kartun favorit, dapur yang sibuk, dan bau detergen menyengat. Aku menunggu ayah agak santai, karena setiap Sabtu atau Minggu pagi, ayah selalu pergi ke pasar, beres-beres kebun, atau berkegiatan bapak-bapak lainnya. Padahal, beliau baru saja pulang dari ibukota malam sebelumnya. Setelah agenda paginya selesai, aku masuk ke agenda ayah yang selanjutnya: potong poni.

Dulu memiliki poni adalah keharusan, biar terlihat imut dan super cute ketika difoto atau ngobrol sama gebetan. Seperti hormon yang sedang bergejolak ketika masa pertumbuhan, begitu pula rambut yang terlalu cepat panjang. Gak asik dong, lagi siap-siap mau genit tapi mata kecolok poni. Jadwal potong poni bisa sampai sebulan sekali, bahkan dua minggu sekali. Aku juga dulu kebingungan, kenapa tumbuhnya cepet banget. Jadi ayah sudah ahli untuk memangkas poni yang sudah off-side ini, sisir dan gunting tersedia, tinggal tunggu aba-aba.

Dengan membawa kursi bakso, aku menunggu ayah di teras rumah dan poni siap untuk dieksekusi. Kadang jadi tegang dan cemas, takut poni kependekan atau ujung gunting gak sengaja kena mata, tapi kan bukan srimulat ya. Ayah selalu potong dengan hati-hati dan teliti. Gak sampai lima menit, pandanganku udah gak terhalang lagi dan hasilnya selalu rapi, semacam pakai cetakan baskom kalau kata orang. Sehabis itu, giliran aku yang bekerja untuk sapu sisa-sisa rambut di lantai.


-


Sekian waktu berlalu. Wajah ini gak perlu lagi poni untuk terlihat lucu, bahkan udah gak peduli model rambut apa yang sedang tren saat ini. Semenjak memilih jalan untuk berhijab, model bob pendek jadi juara. Siapa juga yang peduli? Sekalipun botak, gak akan ada yang lihat.

Beberapa waktu lalu, ada masanya rindu rambut panjang. Yang dikata orang hitam, panjang dan tebal bak model-model iklan shampoo di televisi. Semenjak itu, aku memutuskan kembali untuk membiarkan rambut ini tumbuh tanpa dipangkas, berharap masa kejayaan rambutku kembali seperti dulu. Sayangnya kondisi gak seprima zaman sekolah, usia bertambah, pikiran juga. Ditambah konsumsi obat yang menyebabkan rambut berguguran, memenuhi lantai dan berserakan setelah disisir. Rambut panjang jadi salah satu faktor, terlalu berat katanya. Terpaksa harus potong pendek lagi seperti beberapa tahun ke belakang.

Di saat krisis tanggal tua, pergi ke salon untuk sekadar potong rambut pun jadi perkara. Kebetulan ayah sedang di rumah, kemudian aku membuat permintaan yang sama saat dulu masih sekolah. Aku khawatir, apa beliau masih ingat cara memotong rambut anaknya? Dan ternyata, rasanya masih sama. Saat menempatkan posisi di kursi bakso dan terdengar suara gunting di sebelah telinga, banyak memori yang terpanggil. Aku merasa masih sangat belia yang merengek minta poninya digunting. Tegangnya masih sama, tapi sekarang lebih takut hasilnya gagal dan ujungnya harus tetap ke salon. Sekitar lima belas menit, operasi selesai dan setelahnya aku sapu bersih rambut-rambut yang habis digunting.

Meskipun dengan hasil seadanya, tapi ikatan itu masih erat. Kepingan kenangan sekitar sepuluh tahun lalu masih tertanam dan masih sangat jelas dibayangkan. Aku masih anak perempuan kecil ayah, yang masih banyak minta. Dan kejadian ini menimbulkan pertanyaan: akankah ketika aku dewasa, ayah akan berbuat sama?

Friday, May 24, 2019

Banyak Hal Yang (Seharusnya Gak Perlu) Dicemaskan

Apabila sebagian orang mengeluhkan tentang quarter life crisis, aku pun gak mau ketinggalan untuk ikut bersuara. Mungkin sedikit basi untuk dibahas tapi ini realitanya. Masih ada yang terjebak dan hilang arah di masa peralihan, dari remaja labil bau matahari menuju dewasa awal yang belum dewasa-dewasa amat.

Here I am, baru mau menginjak angka dua puluh tiga di tahun ini. Aku pikir masih cukup belia untuk haha hihi sana sini, ternyata belia-belia-engga bahkan gak belia sama sekali! Tapi aku masih bisa haha hihi kok, menertawakan hidup multigenre. Banyak drama, minim laga, tapi alhamdulilah ada sedikit bubuk-bubuk romansa yang menghibur. Tuhan memang Maha Membolak balikan keadaan umatNya, makanya hidup itu sebenarnya penuh komedi, bercanda aja terus. Maafin aku Ya Tuhan, aku bercanda. Berkepala dua itu pusing bukan main, dikira bisa hidup bebas berekspresi, melakukan segala sesuka hati, menjalani hari-hari produktif bagai muda berbahaya. Tidak semudah itu, kadang aku merasa sedang dalam bahaya. Seketika mengencangkan sabuk pengaman dan menggenggam erat, takut terpelanting karena roller coaster akan bersiap memutari relnya.

Hidup itu nano-nano, rame banget rasanya, apalagi setelah menjejaki kehidupan setelah kuliah. Saking ramenya jadi pusing, bingung, ini rasanya gimana, sih? Katakanlah senang, bisa bekerja, meniti karir sesuai cita-cita dan mencari penghasilan sendiri supaya tidak merasa bersalah ketika dihabiskan untuk foya-foya. Tapi sebenarnya adalah beban dipundak bertambah massa dengan mengekornya gelar sarjana, berusaha untuk mengamalkan ilmu selama empat tahun supaya gak jadi percuma. Karir pun jauh sekali dari apa yang diinginkan, sulit sekali untuk digapai. Semuanya bertolak belakang dengan harapan.

Apa kata orang nanti? Apa aku bisa sehebat orang lain? Apa yang aku cari selama ini? Kok rasanya gak sesuai? Perasaan cemas ini selalu melekat layaknya bayangan karena rencana gak selamanya mulus dan glowing, terutama di jam-jam kritis menjelang malam. Tiba-tiba merenung dan diserang pikiran-pikiran gak penting yang seharusnya gak ada di otak tapi malah terlintas, menetap, dan mengacak-acak. Rasanya semakin berat karena jauh dari orang tua, satu persatu teman mulai berpencar untuk mengawali hidup baru, dan orang-orang yang tampak bahagia di media sosial. AKU HARUS BAGAIMANAAA?

Ketika amarahku sedang bergejolak, hati yang kian hari kian kotor akibat iri dan dengki melihat orang masih bisa dengan mudahnya cerah sumringah, sedangkan aku terpuruk. Jadinya suka agak malas bermain media sosial, banyak orang sombong, padahal aku tahu mereka gak sebahagia seperti terlihatnya, sama saja. Aku agaknya terlihat menyedihkan tapi lebih condong menjijikan. Aku yang memilih jalanku untuk terlihat bagai terpuruk, padahal bisa saja aku masa bodoh dengan semua ini. Bukan masa bodoh dengan kehidupanku tapi masa bodoh dengan kehidupan orang lain. Sudah mencoba berkali-kali tapi tetap saja cemas, cemas, dan cemas.

Gak tahu bagaimana cara untuk menghilangkan cemas ini. Bisa sih, menyibukkan diri, mencari kegiatan seru, terutama yang menghasilkan cuan. Itu seru banget. Cemas bisa ditinggalkan, walau dia terkadang datang lagi, menepak pundak. Cemas ini ada karena kita belum terbiasa dan belum bisa beradaptasi dengan kondisi serta masalah baru yang menetapkan kita berada di ambang jurang. Sebenarnya ini pun gak perlu terlalu dicemaskan karena semua akan berlalu dengan sendirinya, meskipun penuh dengan tumpah keringat dan air mata deras. Yakin semua pasti berlalu, quarter life crisis akan berakhir dan digantikan dengan midlife crisis. HAHA. Bercanda. Tapi iya, kan? Duh, aku cemas lagi. Cemas ini wajar ketika peralihan, bahkan kalau gak cemas malah berbahaya bukan? Jadi, gak perlu lagi cemas ketika sedang cemas, tapi jangan berlebihan. Semua itu normal di masa peralihan.




Friday, December 28, 2018

Semua Orang Butuh Mengeluh

Mengeluh adalah musuh. Mengeluh harus dijauhi dari radius sepuluh meter. Mencium baunya saja sudah enggan, apalagi hidup bersama. Aku akan mati mengeluh karena sebuah keluhan.

Tidak untuk tahun 2018, aku bernafas dan jantungku berdetak merintih. Lelah letih jiwaku karena tidak pandai berkeluh kesah, kemudian di puncak emosi yang berfluktuasi, seorang sahabat berbisik, "Jika lelah, maka tunjukan lelahmu.", aku tertohok.

Dulu, anti dengan orang mengeluh karena beranggapan bahwa hal itu tidak keren, terdengar pesimis, penuh putus asa, dan tidak ada semangat hidup. Aku juga punya prinsp tidak boleh mengeluh, tidak boleh membuat orang lain repot mendengarkan cerita sedih dan frustasiku. Tapi, prinsip itu malah bikin jadi sok kuat dan ketika jatuh, jadi jatuh, sejatuh-jatuhnya, sampai ingin menghentikan denyut nadi. Memendam emosi ternyata bisa jadi bencana. Ya, memang sangat terlihat egois dan tidak jujur terhadap diri sendiri bahwa aku juga butuh mengeluh.

Pernah suatu hari, tergerak untuk ikut perkumpulan  baca dan membahas tentang cara mengikhlaskan. Katanya, "Apapun yang terjadi harus diberi selebrasi.", sepertinya aku salah mengartikan pernyataan. Di otak tertanam, "Aku harus positive thinking", "Semua pasti ada sisi baik", "Aku harus kuat", bukan mantra yang buruk, tapi seperti yang sudah aku bilang, pemikiranku sempit: aku jadi sok kuat, lupa bahwa aku manusia. Selebrasi bisa dalam bentuk apapun, bukan? Tidak hanya sebuah perayaan suka cita tapi juga menjamu diri supaya lebih tenang dan damai. Mengikhlaskan bahwa suatu hal memang harus terjadi.

Dengan resmi aku tetapkan tahun 2018 sebagai Tahun Mengeluh, karena sepanjang tahun ini, hariku penuh dengan ngomel, marah, dan berakhir dengan derai-derai air mata. Tidak hanya aku, teman-temanku juga begitu. Entah rasanya segala masalah sedang menghantam keras seperti meteor jatuh ke bumi, seolah aku siap ikut menjadi abu. Sampai sahabatku terheran, "Tumben kamu dari kemarin ngeluh melulu dan mau dengerin keluhan orang". Ya, aku sudah berdamai. Mengeluh itu tidak salah, kok. Aku anggap mengeluh sebagai selebrasi dari kekesalan, kelelahan, kebencian, kekecewaan, dan intinya adalah segala aura negatif yang membuat otak mau meledak dan dada penuh sesak. Aku mengikhlaskan diri untuk mengeluh.

Teruntuk teman-temanku yang selalu bilang, "Maaf aku mengeluh". Silakan rayakan keluh kesahmu, karena aku dan kamu butuh.