Tuesday, May 15, 2018

Sesal Sepanjang Kala

"Aku senang bisa lihat kamu gendut lagi, Nya. Sekarang malah aku yang sakit", ucap Dara tersenyum pucat lemas, dia tampak senang aku kunjungi. Dara, seorang sahabat gila, bahkan lebih, memiliki selera humor tinggi dan pintar berbahasa. Salah satu partner lari pagi di hari Minggu, makan bubur, dan main ke rumah untuk membuka situs chatting with strangers yang biasanya banyak bule kacau dan kami malah ngebodohin mereka.

"Makanya, jangan sakit! Kurus, sih, tapi kalau karena sakit mana enak. Pipi tembem kamu jadi ilang, tuh!", aku bercanda dan Dara masih saja tersenyum lemas. Tembok dingin di kamar Dara seolah mendukung kondisi kesehatan pemiliknya. Meja di sebelah tempat tidur dipenuhi botol dan plastik-plastik obat. Dara sibuk mengenalkan teman barunya satu persatu padaku.

"Waktu itu sakit bareng, ya. Syukurlah kamu udah sembuh lebih dulu. Aku masih begini aja, tambah parah", katanya. "Ngomong apa, sih, Dar? Kamu juga udah sembuh, udah keluar dari rumah sakit. Maklum lemas, butuh pemulihan", kataku menyemangati.

Aku pernah hampir dikira meninggal oleh banyak orang, Dara pun menyaksikan itu. Setelah setahun setelahnya, meskipun masih dalam pengobatan, aku sudah cukup kuat untuk naik turun seribu kali tangga sekolah karena sebelumnya duduk saja gak kuasa. Dara tiba-tiba jatuh sakit, aku pikir semacam rematik tapi hingga sekarang, aku gak paham apa yang berani menyerang sahabatku. Semenjak itu, Dara jadi sering berkisah dan konsultasi tentang hal yang dirasakan pada tubuhnya yang mini dan gempal. Kami terpaksa berpisah untuk mengejar mimpi yang berbeda dan jarang bertemu semenjak putih abu, kemudian di lanjut aku yang lebih memilih kota lain untuk kuliah. Jarang berkomunikasi, aku tidak sedikitpun tahu kondisi Dara jadi memburuk. Sejak itu, menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Dara selalu menjadi agenda. Dia memilih untuk gak lanjut kuliah karena bosan.

Memandang Dara kini tak seceria dulu meskipun masih berusaha melucu dan tetap berhasil. Kering dan pucat menyelimuti tubuh, memeluknya kini tersisa tulang, kapuk kasur yang tersimpan di dalam kulitnya habis dimakan patogen.

Matahari mulai membenamkan diri, begitu pula aku harus pamit pulang.
"Terima kasih banyak, Anya. Sering main kesini, ya, kalau libur kuliah", pesan bunda Dara, Tante Senny. Aku mengangguk, mengiyakan.





-





Kuliah memang sialan, waktu dikuras habis hanya untuk tugas yang gak ada henti. Jangankan untuk orang lain, kadang diri sendiri tidak diurus. Bersyukur masih diberi detak jantung. Selain orang tua, menghubungi Dara adalah wajib, bicara langsung atau sekadar menanya kabar melalui Tante Senny. Sesekali kami berteleponan dan saling tukar foto. Di tengah perkuliahan, jantung agak tersontak mendapat kabar Dara masuk rumah sakit lagi karena kondisi menurun. Masih bisa diajak bicara, tapi Dara sempat gak bisa mengetik dan diwakilkan oleh Tante Senny.

Lagi, lagi. Kuliah memang sialan. Aku terlalu memuja ujian semester. Saat sedang mengerjakan tugas, Dara menelepon namun ternyata Tante Senny, "Anya apa kabar? Dara kangen, ingin ngobrol katanya. Gak kuat ngetik dia".

"Baik tante, cuma pusing, nih. Anya lagi banyak tugas banget. Kejar untuk ujian, seminggu lagi selesai. Nanti Anya telepon balik, deh. Maaf ya, tan".

"Begitu, ya. Ya sudah, semangat, ya ujiannya. Semoga diberikan kelancaran. Nanti telepon, ya".

"Terima kasih banyak, tante. Salam untuk Dara!".





-





Ujian berakhir tapi belum sempat menghubungi Dara, ingin istirahat sebentar kemudian menelepon Dara dengan santai untuk mencurahkan kejengkelan ujian ini. Lelah melotot sampai larut, tidur dengan posisi tidak benar adalah hobi. Pukul dua dini hari, ponsel berbunyi, ada nomor telepon asing menghubungi. Aneh pikirku, siapa yang iseng telepon malam begini.

"Halo?", suaraku parau.

"Anya....", suara lebih parau jauh disana, ditambah isak tangis. Mendengar suaranya, aku kenal dan jadi gelisah.

"Dara meninggal."

"Dara? Dara mana? Siapa?", aku tidak percaya.

"Anya, tolong kabari teman-teman yang lain, ya.."











Innalillahi wainna ilaihi rajiun.




Telepon mati seraya waktu dan perasaan yang ikut mati sejenak. Pikiran kosong, jemari mulai membeku dan bulir-bulir air mata berjatuhan seirama dengan detak jantung yang tidak beraturan. Kacau, sungguh kacau.


Apakah ini nyata?

Tuhan, apakah kehilangan sebegini menyakitkan?

Aku lebih lama Engkau beri sakit, tapi kenapa Dara yang dipanggil lebih dulu?

Kenapa Engkau gak izinkan kamu untuk menemukan sembuh bersama?

Anya si Bodoh!

Kenapa tidak menelepon Dara lebih awal?

Kenapa lebih takut dengan ujian daripada kehilangan separuhmu sendiri?

Anya si Bodoh!


Aku kacau, emosiku gak terkontrol, sedang kotor.

Dara melabeliku sahabat tapi aku adalah sahabat yang menunda telepon hingga Tuhan gak beri kesempatan agar dapat bertukar suara untuk terakhir kali. Tanpa pikir panjang, aku pulang kampung menggunakan kendaraan umum paling pagi. Gak habis air mata terus mengalir selama tiga jam perjalanan. Panik, aku gak henti menghubungi bunda, "Bun, bilang Tante Senny, tolong almarhumah jangan dulu dikebumikan. Anya mau ketemu sekali lagi", bicaraku gak jelas. "Anya pokoknya datang dulu, ya, nak", kata bunda.

Anya ingin memeluk Dara sebelum beda dunia. Namun apa daya, aku datang berhadapan dengan nisan bertaburan kembang atas nama Dara Khalisya.


Dara, aku berubah menjadi puing-puing. Perasaanku berserakan, rasa bersalah, rasa kecewa.

Dara, aku tahu air mata malah membuatmu gak tenang tapi bagaimana lagi, Dara? Mereka gak mau berhenti.

Dara, andai bisa aku ulang waktu agar kita bisa bicara lagi di telepon dan aku dapat menemani sampai akhir hayatmu.

Dara, maafkan aku.