Jalan-jalan tak tentu arah dan tujuan.
Lalu berhenti di satu tempat yang nyaman.
Berawal dari obrolan biasa.
Ditemani dengan dua botol minuman.
Lanjut ke obrolan yang serius. Nostalgia.
Saat di kolam renang.
Saat di masjid.
Saat di Yogyakarta.
Oh, Yogyakarta. Saya sangat merindukan masa itu.
Mata mengelili tempat.
Terlihat ada stand coffee.
Saya tergiur. Dia membiarkan saya membelinya.
Namun, saya tak berani untuk mengeluarkan lembaran uang.
Terlihat ada stand permen kapas.
Saya tergiur lagi. Dan dia pun membiarkan saya untuk membelinya jika saya berani.
Saya berani, saya mati.
Dia mengerti. Mata saya basah oleh bulir-bulir air.
Bukan menangis karena dia membiarkan saya untuk membelinya.
Bukan pula menangis karena saya tidak bisa membelinya.
Saya bisa membeli, tapi saya bisa memakannya.
Dia berkata:
"Aku janji, aku bakal makan apa yang kamu makan. Dan aku ga akan makan yang kamu ga makan. Aku ga makan manis"
Jari kelingkingnya mengarah kepada saya.
Berharap saya untuk mengeluarkan jari yang sama.
Kelingking saya refleks menyentuh kelingkingnya.
Dan perjanjian dimulai dari hari itu.
Tapi saya tak menganggap perjanjian itu adalah benar-benar perjanjian.
Karena saya tau, dia masih sangat labil.
Saya tak memaksa.
Saya tak meminta.