Thursday, August 10, 2017

Sesuai Ekspektasi

Sebelumnya..





"Kamu tahu kan aku punya komitmen? Aku gak bisa kasih janji dan gak bisa membuktikan apapun" Irgi mengaku.

Tepat 100% 100 poin untuk Anya. Bagus Irgi, lagipula aku paling benci dengan orang pengumbar janji. "Ya sudah, Gi. Setidaknya aku lega, gak ada lagi pro dan kontra di pikiran."

Kemudian Irgi meminta jangan main hati, sudah terlanjur aku bilang. Aku harap dia cukup mengerti maksud dari terlanjur ini. Seperti aku yang bisa menebaknya, Irgi tak kalah pandai menebak segala hal, apalagi seorang Anya. Dia sudah mengetahui tanda-tanda sejak pertama kali ada yang berbeda. Problematikanya adalah kami sama-sama tahu tapi memilih bungkam kurang lebih dalam setahun. Ajaib menurutku, bisa bertahan selama itu.

"Ngerasa gak, sih, Gi? Kamu itu melakukan hal yang gak biasa dan menurutmu itu biasa."

"Aku hanya berbuat sebagaimana teman." dia keukeuh.

Teman tidak berbuat seperti yang kamu lakukan. Kataku dalam hati. "Perempuan itu paling gak bisa diberi perhatian. Sekali dapat, langsung luluh." jelasku.

"Aku salah, ya, Nya?"

"Engga, kok. Selama itu bikin aku senang."

Kemudian kami bercerita tentang yang dulu, mengapa sampai hal ini bisa terjadi dan aku protes pada Irgi, mengapa tidak membicarakan keganjalan ini dari sejak lama. Jawabannya, "Bingung." Lalu aku bertanya, sebagai apa aku dimatanya. Irgi bilang, akulah yang terdekat dibanding yang lain, aku yang peduli, begitu juga dia. Dia pun sempat 'merasa' tapi tetap jawabannya, "Bingung."

"Irgi, kalau sudah besar nanti, kita bakal terus bareng gak?"

"Wallahualam", jawabnya singkat.

Hening menjadi jeda obrolan, seperti biasa kami diganggu kucing-kucing berkeliaran. Sesekali motor dan mobil lewat sebagai iklan. Aku yang masih menatap lurus ke depan dan dia yang terasa lebih hangat malam itu. Sembari dibanjur lampu jalan, aku menikmati malam yang amat panjang, bahkan berharap jangan cepat berakhir. Entah dengan dia, namun aku seperti itu.

"Senang gak?", tiba-tiba aku bertanya.

"Senang. Kamu senang?"

"Senang."

Yang sungguh membuatku merasa dewasa adalah ketika menghadapi masalah dan bagaimana menjawab masalah tersebut. Kami pikir kisah ini akan tamat seperti yang lalu-lalu, memutuskan untuk tidak lagi bertemu. Nyatanya, tidak ada yang mau berubah dan jangan sampai berpisah.

Wednesday, August 9, 2017

Selamat Hari Senin

Lho? Padahal sekarang Rabu.

Sudah telat dua hari tapi ga apa, Senin kemarin sangat berarti. Semua orang membenci Senin, aku juga. Tapi Senin yang satu ini begitu ditunggu karena aku menebak akan mendapat kejutan.

Ya, memang kejutan. Aku dikejutkan oleh kehidupan. Hidup yang tidak pernah dialami sebelumnya, sebuah pelajaran yang menampar dan membuka mata. Terasa benar aku menginjak tahap pendewasaan. Semua yang dijalani akhir-akhir ini melibatkan keputusan yang terbilang cukup sulit.

Menuju 21, aku dihadapkan ke dunia yang lebih nyata. Bekerja di a real company, tinggal sendiri dengan keterbatasan ekonomi. Meski hanya mahasiswa magang, aku merasa benar hidup seperti pekerja. Bermacet-macetan di pagi dan malam, duduk kurang lebih enam jam di depan layar komputer, panik di kejar deadline, lalu pulang ke kost tanpa mau lagi menyentuh kerjaan. Ini bagai mimpi, beberapa tahun lagi mungkin aku akan terus hidup di agensi.

Dua bulan sejak Juli berada di Jakarta, begitu melankolis, aku amat merasa sepi. Jarak selalu jadi pembatas, finansial selalu jadi korban. Untung teknologi sudah canggih, jauh pun terasa dekat, bisa chat dan free call yang sedikit mengobati. Terlalu sering merindu, kebersamaan jadi lebih dihargai. Berkumpul itu seru, aku ga mengerti dengan orang-orang yang tidak senang berkumpul.



Lalu protes sana-sini terdengar.
“Pulang, dong!”
“Kok ga pulang?”
“Pulang kapan?”

Aku cuma bisa balas: ga tau. Memang ga tau. Boleh saja kalau mau kasih uang jalan. Aku terima dengan senang hati.


Pernah suatu hari aku lelah bekerja, pusing karena terus di revisi. Keluar kantor, menggerutu. Ingin berkeluh kesah tapi sama siapa, kadang virtual itu menyebalkan. Lalu tak sengaja menengadah ke atas langit, ada satu planet yang amat terang, Saturnus. Terdiam sejenak, aku terharu. Kemudian berjalan lagi menuju gerbang, di langit menggantung cantik bulat sabit seperti sedang melengkungkan senyum. Seketika pecah, aku balas senyum dan berkaca-kaca. Semesta tidak mengizinkan aku bersedih, mereka bagai memberi tau bahwa aku tidak boleh mengeluh dan semua pasti memiliki hikmah.

Begitu pula dengan Senin kemarin. Mengulang tahun yang sama, tapi dengan cerita yang berbeda. Kali ini paling sepi karena jauh dari yang terkasih, tapi senang masih banyak yang ikut selebrasi. Dan lagi-lagi semesta memberi hadiah, sebuah gerhana. Tuhan mengingatkan bahwa aku tidak benar-benar sendiri.

Sungguh ulang tahun kali ini sangat mendewasakan. Meski usia bukan jadi patokan, tapi aku sadar kini sudah bukan lagi remaja.

Terima kasih Tuhan, ibu dan ayah, teman-teman yang memberi selamat dan menghadiahkan aku sebuah foto aib yang di unggah ke media sosial, dan kamu yang setidaknya telah membuat hari Senin tidak begitu menyebalkan.

Terima kasih karena telah masuk ke dalam cerita dan membentuk aku jadi dewasa.

Have a blast year!

Friday, August 4, 2017

Memprediksi

Irgi seketika bertingkah tidak biasa, mungkin pikirnya aku tidak paham tapi sebenarnya aku sangat mengerti. Tiba-tiba saja dia mengajak pergi, padahal biasanya selalu aku yang meminta lebih dulu.

Terhitung dua tahun kebelakang kami mulai cukup dekat. Bisa dibilang partner in crime. Aku yang sering cerita ini itu, dia yang selalu ikhlas mengantar pulang, Anya yang terus mencari kalau Irgi tidak ada, dan Irgi yang pernah beberapa kali menangis depan Anya. Kemudian satu tahun terakhir, sialnya, aku merasa ada hal yang tidak biasa yang menurutnya itu biasa. Sesuatu yang membuat tiba-tiba tersenyum, sesuatu yang hanya dengan melihatnya saja sudah membuat aku tenang.

Malam itu Irgi sangat milenial, terus tertawa sendiri menatap sesuatu yang katanya seru. Sesekali aku ajak bicara dan setelahnya hening kembali. Tidak bisakah layar itu dikesampingkan? Ada aku yang tidak virtual dan lebih nyata untuk diajak bicara.

Lalu Irgi bilang sulit tidur kemarin malam. Berani bertaruh, semalaman dia berpikir keras untuk malam itu. Setelah makan di warung emperan dekat pasar. Aku berlagak bertanya akan kemana setelah itu. “Ngobrol dulu”, katanya. Kemudian kami pergi dan  aku tidak menghabiskan makan malam dengan alasan kenyang, padahal kehilangan nafsu karena terlalu panik dengan apa yang akan terjadi malam itu. Aku tahu kemana arahnya.

Berjalan dengan angin malam, memilih tempat yang cocok untuk persinggahan. Jauh-jauh berputaran, akhirnya terpilih tempat nongkrong bapak-bapak komplek, tempat duduk yang cukup terang, di samping tembok sekolah dan langsung menghadap rumah. Saling bertukar cerita untuk meleburkan suasana, membangun frekuensi yang sama. Di antara suara-suara kucing komplek mengeong, terdeteksi tanda-tanda serius.

“Ga apa, kan, kalau bicara jujur?” Sumpah, pertama kalinya Irgi seserius ini. Kami duduk bersebelahan. Aku menatap lurus ke depan, sesekali terdistraksi oleh para kucing berkeliaran. Sedangkan dia terus menatapku. Demi apapun, aku malu.

“Anya, lihat sini dong”, protesnya. Aku menurut hanya beberapa detik, lalu kembali ke posisi awal. Aku tidak berani memandangnya terlalu lama, karena tatapannya terlalu menenangkan.

“Kenapa, sih? Lihat sini.”

“Malu, Gi. Kamu ngomong aja, aku denger kok.”

Jauh dari sebelum Irgi mengajak bertemu, aku sudah menyiapkan segala baik dan buruk, serta jawaban-jawaban yang akan keluar dari tuturnya. Benar saja, prediksi tidak meleset. Jadi selama ini aku sudah tahu jawaban dari semua pertanyaan tapi aku hanya belum yakin, hanya berani menebak karena Irgi adalah teka-teki. Lihat saja, mukanya seperti penuh teori.