Wednesday, September 29, 2010

Perjalanan Super Ekstrim

            KRING..KRING..KRING. GEDEBUK!!
            Terjatuh dari tempat tidur di pagi hari saat bangun tidur itu sangat menyakitkan. Tapi, lebih menyakitkan lagi apabila melihat ke arah jam weker berwarna merah yang berdiri tegak di meja kecil samping tempat tidur. Jam berapa sekarang? Mataku masih setengah terbuka, masih agak ngantuk. Kuraih jam weker itu dan melihat jarumnya yang sudah menunjukan jam enam lebih lima belas menit. Oh, tidak. Aku telat! Otakku serasa akan pecah apabila bangun telat. Tapi, tiba-tiba aku teringat ketika aku jatuh terpeleset ke sebuah jebakan pada saat sedang pergi berlibur bersama keluarga besar Bilingual Dua.  
            “Aduh. Gila ya. Jalan hancur banget deh, becek, pada bolong-bolong! Kita sebenernya mau kemana sih, Rud?” Tanya Chacha pada Rudi.
            “Iya banget! Jauh banget. Mana dari tadi enggak sampai-sampai. Kakiku sudah enggak kuat tahu!” Aku mengeluh sambil mengusap keringat.
            “Sabar ya, teman-teman semua. Aku akan membawa kalian ke tempat yang sangat indah. Bak surga. Sebentar lagi juga sampai.” Jawab Rudi dengan santai juga gayanya yang tengil sok lebay. Rasanya ingin aku tampar mukanya dengan sepatu hak tinggi dengan kekuatan super babonku sehingga dia mental seperti boomerang sampai Honolulu dan kembali lagi ke Indonesia dengan kulit yang lebih mengkilat dan menggoda karena terpanggang oleh hangatnya mentari. Grr. Betapa kesalnya aku kepadanya.
Aku lemah tak berdaya. Bagaikan seekor ikan paus yang terdampar di tengah-tengah padang pasir yang menyengat. Aku sekarat. Jalan sempoyongan, sudah enggak bersemangat. Enggak seperti teman-teman yang lain. Mereka tampak berenergi meskipun terkadang mengeluh juga. Tawa dan canda masih bisa mereka lakukan, tapi aku tidak. Kalau begini ceritanya, dari awal mungkin aku enggak akan ikut bertamasya berkeliling-liling kota tanpa tahu tujuan. Lebih baik aku tidur di kamar dengan bantal-guling yang empuk. Di sepanjang jalan aku terus mengeluh, itu saja yang bisa aku lakukan. Aku meleguk botol minumku dan sepintas aku melihat sesuatu yang menarik. Bunga berwarna oranye yang sangat besar. Mataku terbelalak melihatnya. Waw. Aku pun menghampiri bunga itu, siapa tahu baunya harum. Aku mendekatinya dan menarik tangan Chacha agar dia mengikutiku, tapi dia melepaskan genggamanku. Dan aku pun mencium baunya. Hm, baunya seperti es krim rasa choco mint. Membuatku terus ingin untuk mendekat, lebih dekat, dan lebih dekat lagi. Tapi tiba-tiba aku terpeleset ke dalam suatu lubang yang cukup besar. Dengan gerakan refleks, aku langsung menggenggam erat tangan Chacha.
            “AAAAAAAAAAARGH.” Teriakku dengan lantang.
            “Alya! Lihat-lihat kalau jalan, jadi kepeleset kan. Woy, tolong bantu aku angkat Alya dong!” Chacha meminta pertolongan. Dia kesulitan memegangku erat, pegangannya sangat kuat, namun perlahan pegangannya melemah dan terus melemah.
Sepertinya dia sudah mulai mencium aroma choco mint yang begitu lezat itu dan dia pun ikut terjatuh. Kami berdua pun berteriak dengan suara yang sangat kencang, aku memegangi kaki Chacha dengan pegangan yang kuat karena sekarang kedua tangannya sedang memegang pinggir lubang dengan erat. Karena teriakkan kami yang sangat kencang, semua teman-teman terkejut dan langsung berlari mendekati bunga oranye yang beraroma es krim choco mint itu.
            “Hey, kalian jangan cuma lihat aja. Bantu bisa kali?” Bentak Chacha yang sudah tidak kuat memegangi pinggir lubang.
            “Cepetlah tolong kita! Aku takut jatuh, aku belum mau meninggal. Lubang ini cukup dalam tahu. Kalian enggak kasihan sama aku ya?! Terus tutup hidung kalian! Lubang ini menjebak kita, jangan sampai kalian terpengaruh oleh bau aroma es krim itu!!!” Aku menambahkan dengan kesal.
            “Ya ampun. Bau apa ini? Wangi banget, aku jadi lapar.” Gustiani tergoda. Oh tidak. Sepertinya mereka sudah terpengaruh oleh aroma itu. Pikirku buruk. Benar saja, mereka makin mendekat dengan lubang. Dekat, dekat, mendekat, lebih dekat, lebih dekat lagi, lebih dekat lagi dan......................................”AAAAAAAAAAAAAAARGGGGHH!!” Kami semua terjatuh pada lubang yang cukup dalam itu. Kira-kira dalamnya 10 meter. Bayangkan, betapa dalamnya bukan?
BRUUUUUGGGG. KRAAKS. BUUMMM. BLAAR. TOOOOOOOG. BLAAG. DUAAR. AW!
Kami semua mendarat dengan posisi yang begitu sangat ‘sempurna’ sakitnya. Ada yang tertindih, tertendang, terpukul. Bahkan salah satu temanku ada yang terbanting oleh badan Agfar yang fenomenal itu! Dia adalah Juli. Mimpi apa dia semalam sehingga hari ini dia mendapatkan durian ‘montok’ yang sangat nikmat itu. Kasihan dia, malang sekali nasibnya. Kepalaku pening, kakiku keseleo, sakit sekali. Mantap! Aku menggaruk kepala yang sebenernya enggak gatal yang mengartikan bahwa aku sedang bingung. Aku kini berada di tempat yang asing. Tempatnya teduh, asri, penuh dengan pepohonan. Aku bertanya pada diriku sendiri. Dimana ini? Apakah ini tempat yang ingin di tunjukan Rudi?
            “Rudi, ini tempat yang kamu bilang itu?” Tanya Endah.
            “Hampir!” Jawabnya dengan muka berbinar. Sepertinya aku ingin menampar wajahnya lagi.
            “Maksud kamu, kita hampir mendekati tujuan?” Sevira ikut bertanya.
            “Gitu ya? Jadi kita sudah mau sampai, nih? Baguslah kalau gitu! Aku ingin cepet rebahan!!! Capek, pegel, lemes, haus, lapar, ngantuk. Hoaaam.” Kataku dengan senang.
            “Benar banget!” Lela, Ajeng, Dea, dan Filia setuju dengan pendapatku.
Kami beristirahat sejenak, menikmati pemandangan yang ada. Melemaskan otot-otot kaki yang sudah dipakai berjalan jauh. Aku mulai berpikir lagi. Yaitu, seberapa jauh jarak yang akan kita tempuh dan bagaimana cara kita keluar dari tempat ini? Tempat ini memang nyaman tapi membosankan. Lagipula tidak ada tukang jajanan, perutku sudah demo minta dikasih makan. Dan lagi-lagi aku mengeluh dang mengeluh. Bagaimana tidak mengeluh, aku berajalan jauh tanpa tahu arah. Aku bagaikan secarik kertas yang terbawa angin kesana-kemari tanpa tahu mau kemana. Tak beberapa lama, terdengar suara teriakan Genk Teh Gelas dari kejauhan.
“Teman-teman!!!!!!!”
“Apaan?” Jawab kami serentak.
“Eh, eh, eh, eh tahu enggak sih lo lo lo? Rudi, Andhica, sama Abdul nemuin gerbang lho!! Kayanya itu jalan keluar kita deh!!” Kata Ikhsan dengan heboh dan mengangkat kedua tangannya keatas sambil dikibas-kibaskan.
Kami semua berjingkrak senang dan segera berlari menuju gerbang yang ditemukan Rudi. Dengan tidak sabar, kami ingin segera masuk ke gerbang itu dan keluar dari tempat ini. Ternyata yang menemukan gerbang itu adalah Andhica dan dia bilang gerbang itu cuma bisa terbuka dengan rayuan gombal. Yang jago menggombal-ria di kelas itu Abdul! Saatnya Abdul beraksi. Haha!!
“Sepatu terbang, gambar kedondong. Pintu gerbang, dibuka dong” Abdul mulai berpantun tapi untuk yang pertama kali dia enggak berhasil. Dia berpantun dan berpantun lagi, tapi pintu gerbang enggak kunjung terbuka. Abdul menyerah di pantunnya yang ke-97. Mungkin pantun dan rayuan Abdul kurang manis, kurang gombal dan kurang gereget. Dia pun mencoba membuat satu pantun lagi.
“Digoyang asik, sambil makan gulali. Gerbang cantik, kaya Angelina Jolie!!!” Abdul berpantun sambil berteriak karena lelah tapi gerbang enggak juga terbuka. Irvan pun ikut kesal karena 98 pantun rayuan gombal Abdul enggak mempan juga. Enggak lama Irvan berteriak “Hati terluka, melihat dia dibonceng. Gerbang kebuka, gua bayar goceng!!” Tanpa menunggu lama, pintu gerbang langsung terbuka lebar setelas Irvan meneriaki pantun asalnya itu. Ternyata pintu gerbang itu matre!! Masa cuma bisa terbuka karena uang goceng alias lima ribu rupiah? Dunia ini memang sudah gila. Meskipun terbuka dengan cara yang unik, kami senang karena gerbang terbuka dan kami pun bisa keluar.
Kami keluar dengan senyum sumringah tapi senyum itu langsung tergantikan dengan kerutan kening. Ternyata, setelah keluar dari pintu gerbang. Kami semua memasuki tempat yang lebih indah dari sebelumnya dan kami pun disambut dengan meriah. Ada penampilan khusus dari Pittbul, penyanyi solo beraliran diskotik asal Spanyol. Tempat itu penuh dengan makanan dan minuman. Lalu, adapula pelayan pribadi yang khusus melayani kami. Kami dibawa oleh para pelayan itu ke tempat favorit masing-masing. Dan mereka berpesan bahwa, kami semua disini enggak bisa terlalu lama, hanya bisa satu jam saja. Kalau lebih dari satu jam, nanti kami semua akan berubah menjadi gembel pengkolan. Sedikit menyeramkan. Tapi lumayanlah.
Genk Dago dibawa ke tempat yang banyak sekali jajanan, Iqbal and The Gank dibawa ke warnet, biasalah mereka main game online, Endah diajak bertemu dengan para pemain sinetron Cinta Fitri, Ajeng diajak bertemu dengan Derby Romero, Filia dengan Robert Pattinson, Dea dengan David, Ikhsan dipertemukan dengan semua bintang Bollywood kesukaannya, pecinta musik dibawa ke studio musik dan bermain puas disana, para pecinta komik diajak ke tempat yang dimana rak buku tinggi menjulang sampai ke langit-langit gedung, Chacha dibawa ke taman yang penuh dengan kucing anggora juga persia. Aku dan Lela diajak bertemu dengan Jonas Brothers, idola kami berdua. Jonas Brothers itu adalah tiga bersaudara yang merupakan band dunia, yang tentunya disukai para remaja dunia juga. Tapi aku bingung, aku pun ditawarkan untuk pergi bersama pangeran kodokku. Setelah dipikir, aku lebih memilih untuk bertemu Jonas Brothers ketimbang si kodok itu. Kami semua bersenang-senang, berpesta-ria di tempat surga dunia. Semuanya bagaikan bunga tidur. Begitu cepat datang, begitu indah, dan begitu cepat selesai. Tak terasa satu jam sudah kami lewati bersama hobi dan favorit kami. Inginnya menambah waktu tapi kalau nambah, nanti jadi gembel. Jadi apa daya, kami pulang. Tapi bagaimana cara pulang? Kami semua memutar otak lagi. Tak lama, datang pelayan dan berkata.
 “Dek, pulangnya diantar Mas Flying Dutchman ya” kami semua saling memandang dan mengiyakan saja apa yang diakatakan oleh si pelayan. “Bukannya Flying Dutchman itu hantu bajak laut yang ada di kartun Spongebob ya?” Aku berpikir. Masa bodolah, yang penting sekarang aku sudah puas bermain disini, kurang puas si sebenarnya. Ini baru namanya bertamasnya! Kami diantar ke pelabuhan dengan rasa sedih karena akan meninggalkan surga dunia. Tak lama Mas Flying Dutchman dengan kapal layar super miliknya yang sedikit agak berbeda. Kalau yang di kartun Spongebob, kapal layar berwarna hijau penuh dengan lumut dan terbang. Tapi yang ini, kapal layar berwarna serba merah muda dan tidak terbang. Jijik. Pikirku.
“Mas, Mas. Mau nanya boleh?” Aku menarik lengan Mas Dutchman.
“Iya, Dek. Tentu saja boleh!” Suaranya gagah dan mantap.
“KENAPA KAPALNYA BERWARNA MERAH MUDA DAN ENGGAK TERBANG?” Tanya kesal karena jijik melihat kapalnya.
“Ih, warnanya cucok bok! Akikah suka layau. Akikah enggak suka terbang ih. Suka mabok hihihihi.” Tiba-tiba suaranya berubah menjadi seperti banci kampret pinggir jalan. Ya ampun ada apa ini. Dunia memang sudah gila! Aku menggeream.
Di dalam dek kapal, aku rebahan, beristirahat. Aku pun sempat tidur beberapa menit. Mungkin kelelahan, semua temanku pun tidur dengan muka yang cerah. Sungguh hari yang bahagia. Hahahahahaha. Aku tertawa lepas saat itu juga. BRUGGGG! Kapal Flying Dutchman membentur sesuatu, kepalaku pun membentur tembok. Ada apa ini? Semua temanku terbangun karena benturan itu. Lalu, aku segera keluar dari dek kapal. Dan dahiku pun mengerut, kapal laya ini menabrak rumah warga! Ya ampun, bagaimana bisa? Ternyata Mas Flying Dutchman versi banci kampret ini tidak ahli menahkodai kapal. Mas Dutchman kebingungan, takut pemilik rumah itu mengomel dan memarahinya. Benar saja, langsung terdengar teriakan dari dalam rumah.
“Astagfiruloh’aladziiiiiiim! Perbuatan siapa ini, huh? Ganti rugi! Pokoknya saya enggak mau tahu!” Terlihat ibu-ibu paruh baya memakai setelan daster berwarna ungu sambil mengacung-acungkan sapu ijuk. Sepertinya aku kenal suara dan gerak-geriknya. Begitu pula dengan teman-teman, pikiran mereka sama seperti pikiranku.
“BU ETI?????!!!”
Kapal Mas Dutchman membentur rumah Bu Eti, guru Bahasa Indonesia kami yang sangat dicintai. Mimik wajah Bu Eti yang asalnya merah padam berudah menjadi sumringah setelah melihat kami, murid Bilingual Dua yang sangat dicintanya. Kami langsung berlari memeluk guru kami itu dan menceritakan semuanya. Sedangkan Mas Dutchman sedang memutar otak bagaimana harus mengganti kerusakan yang dilakukannya. Hahahaha.
Mengingat semuanya, aku ingin tertawa tanpa henti. Tanpa sadar, sudah banyak waktu yang termakan oleh lamunanku. Aku bergegas mengambil handuk dan bersiap pergi ke sekolah.