Tuesday, September 6, 2016

Akibat Panas Memendam Hujan

Puluhan musim dilalui. Memandang terik matahari dengan mata menyipit, bulir-bulir es menjadi primadona kala itu. Lalu badai tiba, hampir tak nampak matahari dalam sepekan, memakai sendal ke sekolah menjadi anjuran karena sepatu tak bosan terendam kubangan.

Bertahan atas peristiwa biasa, basah kering sudahlah wajar. Kemarau aku terbakar, hujan aku tenggelam. Namun aku terlatih, menyelematkan diri meski sempat gosong dan akhirnya dapat berhasil muncul ke permukaan. Sedikit percuma mencari bala bantuan, si penolong hanya menebar simpati, bukan empati.

Beribu hari membekam, tak biarkan orang tahu ada yang sekarat. Toh aib bukan untuk dipublikasikan.

Tak panas dan tak dingin, seperti negara ini yang beriklim tropis. Cuaca cerah dijadikan munajat.

Seketika kemarau panjang, betah berdiam diri tanpa basah setitik menjadikan percikan api yang membakar seisi hutan. Baranya yang merona, membuat api makin merajalela. Oksigen kini mahal, yang murah adalah asap dengan kandungan karbon mematikan. Hampir aku melepuh, sesak, dan perih. Tenang, ada tim medis otomatis dalam diri untuk penyelamatan tunggal.

Tak daya menahan, tak sampai sewaktu asap mengepul di udara. Uap air tampak sudah naik ke langit-langit, berhimpun dalam awan yang siap menuju kelabu, merangkai sebuah mendung dan sedia meruah dengan sebanyak-banyaknya.
Benar saja, hujan balas dendam kepada kemarau, badai berlangsung dengan riuh angin dan petir menggelegar. Dia tak mau kalah dahsyat.

Kini sungguh tenggelam, tak dapat berkutik, lupa bisa berenang, ragaku nyaris tinggal nama. Serius mencari tangan, andaikata ada yang tergetak segera menyelam.
Sadar mata terbelalak karena mulut dipaksa untuk meluapkan air dalam perut. Jantung berdegup, nadi berdetak, ada penyelamat.  Bilamana tak cari uluran, mungkin aku sudah menyentuh dasar dan tak akan kembali. Namun aku tetap hidup dan akan terus menjadi korban pergelutan antara panas dan hujan.