Saturday, December 23, 2017

Sisa Tujuh Nyawa

"I almost died twice yet God gives me nine lives"

Seperti kucing yang katanya memiliki sembilan nyawa, aku jadi berpikir demikian.
Pernyataan di atas adalah benar dan nyawaku bersisa tujuh.


Kalau ga salah sekitar enam tahun ke belakang, nyawa pertama direnggut. Di saat masih belia, aku di vonis hampir meninggal dunia, orang-orang berkunjung dengan derai air mata juga melafalkan doa. Pertama kali di diagnosa ketoasidosis, keton tinggi di dalam urin akibat gula darah tidak stabil dan sering hiperglikemia yang menganggu daya kerja otak sehingga akan mengakibatkan ketidaksadaran. Awalnya sempat mengigau tak jelas, meminta ayah untuk mengambilkan bola berwarna merah. Aku ingat sedang main di taman saat itu. Padahal hanya di dalam ruangan dan tangan terpasang insufan, kemudian hampir ga sadarkan diri lebih dari 24 jam. Aku benar-benar tidur, sebut saja koma. Pantas semua orang mengira aku akan meninggal. Beruntungnya, setelah melewati masa kritis, aku sadar kembali dan sudah berada di lain kamar, bahkan lain kota! Kalimat yang pertama aku ucapkan adalah "Ini dimana?", kamu kira dialog di TV itu template? Tidak! Aku serius! Kamu pun harus tahu, aku dibawa oleh ambulans tapi hingga sekarang, aku ga tahu gimana rasanya dan berisiknya sirine sepanjang perjalanan. Mungkin kamu bisa tanya ibuku, aku yakin dia paham betul.


-


Tepat setahun lalu, nyawa keduaku hilang dan terfatal dibanding yang pertama akibat seminggu sebelumnya tidak nafsu makan, mengejar deadline tugas menuju ujian akhir. Sekalinya makan hanya sebungkus roti dan secangkir latte untuk sehari, nasi terlihat sungguh menjijikan. Memang, kan, aku cari mati. Perih di lambung menjadi hobi setiap petang menjelang, obat maag selalu sedia menjadi perbekalan tapi tidak untuk malam itu, yang mungkin bisa jadi malam terakhir aku berkumpul dengan teman-teman. Pukul 10 malam, lambung perih begitu parah, obat habis, dan baru ingat jam 1 siang adalah terakhir mulut mengunyah. Pergilah aku mencari makan dengan yang lain, pesanan lama datang, si lambung sudah mengamuk. Seorang teman sibuk mencarikan obat, sampai dia tour dari warung ke warung, akhirnya ketemu! Sayangnya lambung ga lagi menerima obat yang biasanya ampuh. Mulut sudah sangat asam, mual sekali rasanya. Temanku mengantar pulang. Di rumah segala sendi sungguh lemas, aku pikir hanya masuk angin tapi setelah 2x muntah, "Aku tipes kali, ya?", pikirku. Menjelang subuh makin parah, pusing sampai berkunang-kunang, bahkan sempat aku berkata pada diri sendiri, "Kayanya aku bakal pingsan". Aku telepon kedua orang tua yang nun jauh disana, maaf aku bikin panik. Akhirnya pukul empat subuh, om dan tante membawaku ke IGD terdekat.

Dokter jaga memintaku untuk cek urin dan hasil mengatakan keton dalam urinku tinggi. Sial, aku mengulang hal yang sama tapi tak sempat berpikir akan ga sadarkan diri. Mungkin pada 24 Desember 2016, sekitar pukul 14.30 aku mulai benar-benar kehilangan kesadaran, mungkin itu bisa jadi terakhir kali jiwaku melekat pada raga, mungkin ini foto terakhirku bareng teman-teman malam itu, dan mungkin ini juga foto terakhir yang bisa aku upload ke chat group sehingga semuanya heboh dan membuat handphone penuh notifikasi.




Setelah itu, aku tidur lelap selama kurang lebih 30 jam. Anggap saja, aku sedang menjemput ajal atau ajal yang menjemputku. Kamu harus percaya, tidurku tidak pernah setenang itu. Berbeda dengan sebelumnya, aku tidak begitu menceracau tapi kata ibu, aku sempat beberapa kali berteriak menyebut nama seorang teman dan meminta mangkok. Mabok:))))
Lagi-lagi aku terbangun di tempat yang berbeda dengan mengenakan selembar kain biru khas rumah sakit, tertutup selimut, selang sekujur tubuh dan pampers. OMG I'm a huge baby.
Selang itu sungguh mengganggu! Infus kiri kanan, ada pula selang yang masuk melalui hidung menuju lambung dan sangat terasa di tenggorokan. Ugh!!!! Tidak lagi!!
Mata berat dan sekujur tubuh sangat lemas, nyawa baru naik satu bar tapi syukurnya bisa merespon teman-teman dan dosen yang menjenguk. Maaf ya merepotkan!
Suster di rumah sakit heboh melontarkan pertanyaan, "Gimana rasanya koma?" atau "Selama koma, mimpi yang aneh-aneh ga?", karena rumornya orang koma selalu 'dibawa'. Kadang aku menyayangkan "Kenapa ya aku ga mimpi? Harusnya mimpi!" Kayanya seru melakukan perjalanan astral. Serius, selama koma, aku hanya tidur.

Aku jadi yakin, mukjizat itu ada sampai aku dapat pulih kembali dan aku amat bersyukur, Tuhan meng-cancel  mandatnya kepada Grim Reaper untuk mencabut nyawaku sampai game over. Mungkin masih banyak tanggung jawab yang perlu aku selesaikan dan Tuhan masih ingin melihatku untuk berusaha lebih.


-



Teruntuk keluargaku, terutama ibu, perempuan hebat yang selalu aku repotkan. Maaf aku selalu begitu dan akan terus begitu. Adikku, Iyas, berondongku satu-satunya yang sekarang terlalu besar, aku senang kamu mulai mengkhawatirkanku. Ayahku, yang terlihat diam tapi ternyata paling panik.

Teruntuk teman-teman alabotkolej yang begitu gercep, aku paham kalian panik banget karena semalam sebelumnya kita lagi haha hihi bareng. Untuk Pala Bopengku, maaf aku ga sadar waktu kalian jenguk but I wuff u so much. Untuk Mail, yang sibuk cari obat dan sedia mengantarku pulang. Untuk Reno, yang kala itu perih lambung bareng tapi kamu licik malah pulang duluan. Untuk Gilang, yang ternyata kamu panik banget ya tahu aku colaps, but thanks!

Teruntuk teman-teman satuAction dan guruku, Pak Fasal yang rela jauh-jauh dateng. Terutama Yuda, my brother another mother, yang selalu temenin di rumah sakit meskipun aku lagi ga sadar dan bantu ibu untuk urus ini itu. Untuk Cacaku sayang yang katanya bombay banget ketika tahu aku masuk rumah sakit. Untuk Ansi, Esa, Ajeng, dan Arum yang nge-bom chat banyak banget dan telepon berjuta kali tapi maaf aku ga bisa angkat waktu itu.

Untuk seniorku, juniorku, dosenku, teman-teman media sosial, temannya temanku dan seluruh jiwa-jiwa malaikat yang aku sayangi.

Beribu maaf dariku karena telah amat merepotkan dan bikin heboh satu dunia, aku menjadi viral akibat tersebar luas foto menjelang ajal. Sampai orang-orang yang ga tahu sampai tahu aku exist dan hampir exit dari dunia. Berjuta terima kasih atas bingkisan, boneka, bunga, ucapan, terutama doa dan dukungannya. Tanpa semua itu, mungkin aku ga akan menjalani sisa tujuh nyawaku sekarang.

Aku akan menggunakan sisa tujuh nyawa ini dengan sebaik yang aku bisa.
Aku amat sayang kalian, sungguh!!

Thursday, August 10, 2017

Sesuai Ekspektasi

Sebelumnya..





"Kamu tahu kan aku punya komitmen? Aku gak bisa kasih janji dan gak bisa membuktikan apapun" Irgi mengaku.

Tepat 100% 100 poin untuk Anya. Bagus Irgi, lagipula aku paling benci dengan orang pengumbar janji. "Ya sudah, Gi. Setidaknya aku lega, gak ada lagi pro dan kontra di pikiran."

Kemudian Irgi meminta jangan main hati, sudah terlanjur aku bilang. Aku harap dia cukup mengerti maksud dari terlanjur ini. Seperti aku yang bisa menebaknya, Irgi tak kalah pandai menebak segala hal, apalagi seorang Anya. Dia sudah mengetahui tanda-tanda sejak pertama kali ada yang berbeda. Problematikanya adalah kami sama-sama tahu tapi memilih bungkam kurang lebih dalam setahun. Ajaib menurutku, bisa bertahan selama itu.

"Ngerasa gak, sih, Gi? Kamu itu melakukan hal yang gak biasa dan menurutmu itu biasa."

"Aku hanya berbuat sebagaimana teman." dia keukeuh.

Teman tidak berbuat seperti yang kamu lakukan. Kataku dalam hati. "Perempuan itu paling gak bisa diberi perhatian. Sekali dapat, langsung luluh." jelasku.

"Aku salah, ya, Nya?"

"Engga, kok. Selama itu bikin aku senang."

Kemudian kami bercerita tentang yang dulu, mengapa sampai hal ini bisa terjadi dan aku protes pada Irgi, mengapa tidak membicarakan keganjalan ini dari sejak lama. Jawabannya, "Bingung." Lalu aku bertanya, sebagai apa aku dimatanya. Irgi bilang, akulah yang terdekat dibanding yang lain, aku yang peduli, begitu juga dia. Dia pun sempat 'merasa' tapi tetap jawabannya, "Bingung."

"Irgi, kalau sudah besar nanti, kita bakal terus bareng gak?"

"Wallahualam", jawabnya singkat.

Hening menjadi jeda obrolan, seperti biasa kami diganggu kucing-kucing berkeliaran. Sesekali motor dan mobil lewat sebagai iklan. Aku yang masih menatap lurus ke depan dan dia yang terasa lebih hangat malam itu. Sembari dibanjur lampu jalan, aku menikmati malam yang amat panjang, bahkan berharap jangan cepat berakhir. Entah dengan dia, namun aku seperti itu.

"Senang gak?", tiba-tiba aku bertanya.

"Senang. Kamu senang?"

"Senang."

Yang sungguh membuatku merasa dewasa adalah ketika menghadapi masalah dan bagaimana menjawab masalah tersebut. Kami pikir kisah ini akan tamat seperti yang lalu-lalu, memutuskan untuk tidak lagi bertemu. Nyatanya, tidak ada yang mau berubah dan jangan sampai berpisah.

Wednesday, August 9, 2017

Selamat Hari Senin

Lho? Padahal sekarang Rabu.

Sudah telat dua hari tapi ga apa, Senin kemarin sangat berarti. Semua orang membenci Senin, aku juga. Tapi Senin yang satu ini begitu ditunggu karena aku menebak akan mendapat kejutan.

Ya, memang kejutan. Aku dikejutkan oleh kehidupan. Hidup yang tidak pernah dialami sebelumnya, sebuah pelajaran yang menampar dan membuka mata. Terasa benar aku menginjak tahap pendewasaan. Semua yang dijalani akhir-akhir ini melibatkan keputusan yang terbilang cukup sulit.

Menuju 21, aku dihadapkan ke dunia yang lebih nyata. Bekerja di a real company, tinggal sendiri dengan keterbatasan ekonomi. Meski hanya mahasiswa magang, aku merasa benar hidup seperti pekerja. Bermacet-macetan di pagi dan malam, duduk kurang lebih enam jam di depan layar komputer, panik di kejar deadline, lalu pulang ke kost tanpa mau lagi menyentuh kerjaan. Ini bagai mimpi, beberapa tahun lagi mungkin aku akan terus hidup di agensi.

Dua bulan sejak Juli berada di Jakarta, begitu melankolis, aku amat merasa sepi. Jarak selalu jadi pembatas, finansial selalu jadi korban. Untung teknologi sudah canggih, jauh pun terasa dekat, bisa chat dan free call yang sedikit mengobati. Terlalu sering merindu, kebersamaan jadi lebih dihargai. Berkumpul itu seru, aku ga mengerti dengan orang-orang yang tidak senang berkumpul.



Lalu protes sana-sini terdengar.
“Pulang, dong!”
“Kok ga pulang?”
“Pulang kapan?”

Aku cuma bisa balas: ga tau. Memang ga tau. Boleh saja kalau mau kasih uang jalan. Aku terima dengan senang hati.


Pernah suatu hari aku lelah bekerja, pusing karena terus di revisi. Keluar kantor, menggerutu. Ingin berkeluh kesah tapi sama siapa, kadang virtual itu menyebalkan. Lalu tak sengaja menengadah ke atas langit, ada satu planet yang amat terang, Saturnus. Terdiam sejenak, aku terharu. Kemudian berjalan lagi menuju gerbang, di langit menggantung cantik bulat sabit seperti sedang melengkungkan senyum. Seketika pecah, aku balas senyum dan berkaca-kaca. Semesta tidak mengizinkan aku bersedih, mereka bagai memberi tau bahwa aku tidak boleh mengeluh dan semua pasti memiliki hikmah.

Begitu pula dengan Senin kemarin. Mengulang tahun yang sama, tapi dengan cerita yang berbeda. Kali ini paling sepi karena jauh dari yang terkasih, tapi senang masih banyak yang ikut selebrasi. Dan lagi-lagi semesta memberi hadiah, sebuah gerhana. Tuhan mengingatkan bahwa aku tidak benar-benar sendiri.

Sungguh ulang tahun kali ini sangat mendewasakan. Meski usia bukan jadi patokan, tapi aku sadar kini sudah bukan lagi remaja.

Terima kasih Tuhan, ibu dan ayah, teman-teman yang memberi selamat dan menghadiahkan aku sebuah foto aib yang di unggah ke media sosial, dan kamu yang setidaknya telah membuat hari Senin tidak begitu menyebalkan.

Terima kasih karena telah masuk ke dalam cerita dan membentuk aku jadi dewasa.

Have a blast year!

Friday, August 4, 2017

Memprediksi

Irgi seketika bertingkah tidak biasa, mungkin pikirnya aku tidak paham tapi sebenarnya aku sangat mengerti. Tiba-tiba saja dia mengajak pergi, padahal biasanya selalu aku yang meminta lebih dulu.

Terhitung dua tahun kebelakang kami mulai cukup dekat. Bisa dibilang partner in crime. Aku yang sering cerita ini itu, dia yang selalu ikhlas mengantar pulang, Anya yang terus mencari kalau Irgi tidak ada, dan Irgi yang pernah beberapa kali menangis depan Anya. Kemudian satu tahun terakhir, sialnya, aku merasa ada hal yang tidak biasa yang menurutnya itu biasa. Sesuatu yang membuat tiba-tiba tersenyum, sesuatu yang hanya dengan melihatnya saja sudah membuat aku tenang.

Malam itu Irgi sangat milenial, terus tertawa sendiri menatap sesuatu yang katanya seru. Sesekali aku ajak bicara dan setelahnya hening kembali. Tidak bisakah layar itu dikesampingkan? Ada aku yang tidak virtual dan lebih nyata untuk diajak bicara.

Lalu Irgi bilang sulit tidur kemarin malam. Berani bertaruh, semalaman dia berpikir keras untuk malam itu. Setelah makan di warung emperan dekat pasar. Aku berlagak bertanya akan kemana setelah itu. “Ngobrol dulu”, katanya. Kemudian kami pergi dan  aku tidak menghabiskan makan malam dengan alasan kenyang, padahal kehilangan nafsu karena terlalu panik dengan apa yang akan terjadi malam itu. Aku tahu kemana arahnya.

Berjalan dengan angin malam, memilih tempat yang cocok untuk persinggahan. Jauh-jauh berputaran, akhirnya terpilih tempat nongkrong bapak-bapak komplek, tempat duduk yang cukup terang, di samping tembok sekolah dan langsung menghadap rumah. Saling bertukar cerita untuk meleburkan suasana, membangun frekuensi yang sama. Di antara suara-suara kucing komplek mengeong, terdeteksi tanda-tanda serius.

“Ga apa, kan, kalau bicara jujur?” Sumpah, pertama kalinya Irgi seserius ini. Kami duduk bersebelahan. Aku menatap lurus ke depan, sesekali terdistraksi oleh para kucing berkeliaran. Sedangkan dia terus menatapku. Demi apapun, aku malu.

“Anya, lihat sini dong”, protesnya. Aku menurut hanya beberapa detik, lalu kembali ke posisi awal. Aku tidak berani memandangnya terlalu lama, karena tatapannya terlalu menenangkan.

“Kenapa, sih? Lihat sini.”

“Malu, Gi. Kamu ngomong aja, aku denger kok.”

Jauh dari sebelum Irgi mengajak bertemu, aku sudah menyiapkan segala baik dan buruk, serta jawaban-jawaban yang akan keluar dari tuturnya. Benar saja, prediksi tidak meleset. Jadi selama ini aku sudah tahu jawaban dari semua pertanyaan tapi aku hanya belum yakin, hanya berani menebak karena Irgi adalah teka-teki. Lihat saja, mukanya seperti penuh teori.

Sunday, April 30, 2017

Dongeng Sebelum Tidur

Bersemayam dalam gelap, saling bergulat dan bertumpuk dengan buntalan kapuk. Menatap langit-langit dan jemari yang wajib bersentuhan. Bunyi detik menjadi wasit, menghitung berapa lama kami bertukar kisah. Momen terfavorit selama hidup, kecewa jika tak terlaksana. Usia sudah kepala dua tapi rasa tak bisa dusta, kembali seperti bocah saat jumpa ibunda. Beliau masih saja cerewet, menasehati berjuta kali dan memaparkan sifat baik dan burukku. Aku masih saja mengelak tapi kini mau mengaku salah.

"Dari kecil, kamu sudah terbiasa jarang dibantu..", aku mendengarkan. "...mulai dari ngerjain tugas, masuk sekolah, atau apa pun yang kamu kerjakan. Terbawa sampai sekarang, kamu jadi percaya diri."

Baru sadar akan pernyataan yang dituturnya adalah benar, aku ternyata seperti itu sedari dulu. Namun terkadang, terlalu percaya diri. Tidak mau dengar kalau ibu bilang tidak, malah berbuat sebaliknya. Memang begitu, aku harus terjun terlebih dulu ke lautan untuk merasakan dalamnya samudera. Sesekali harus lebih mendengar, katanya. Orang tua sudah berlayar lebih lama, daripada aku yang masih belia.

Tiada orang tua menginginkan hal buruk menghampiri buah hatinya. Sebagai harapan masa depan, aku harus menghargai setiap ucapannya. Karena hidup bukan hanya persoalan baik dan buruk tapi juga didengar dan mendengar.
Kemudian hening, hanya jarum jam yang berbicara. Ibu sudah terbenam dalam lelap dan aku hangat dalam dekap.

Selamat malam.


Wednesday, March 22, 2017

Sirna Sukmaku

Merefleksi atas pengakuan diri
Meraba yang tak kasat mata
Sesakku, direnggut
Sulitku bernalar

Merebah kepala, menatap angkasa
Ilusi gemerlap bintang terasa bersemuka
Lantas menghantam, ini bukan kartika yang kukira
Delusi membodohi, siuman dalam gelap

Diam adalah gegabah, melangkah takut lengah
Semua kini gulita, jutaan kedipan nihil perubahan

Jemari kaki menggelitik ayal butala
Melaju bagai siput malas berdaya
Gamang terkecoh oleh buana
Gamang terlahap oleh gelora

Kelak bersua dengan bayang,
namun lenyap diriku dalam ruang

Perlahan menipis
Rasa seakan meringis
Tak lagi bagai sedia kala
Upaya jadi percuma

Kembali kamu ikat ragaku
Merasuk ke dalam atma
Sentuh yang terlubuk
Hingga sukma tak kunjung sirna

Saturday, February 11, 2017

K E S E T

Coba biarkan otakmu berceracau, biarkan mereka bergelut dengan pemikirannya sendiri.

Apa yang pertama terlintas jika kamu mendengar kata 'keset'?
Terdengar seperti bukan bahasa Indonesia tapi memang begitu adanya dan umum diucapkan.

Kalau aku akan menjawab: welcome!

Sering ditemukan keset bertuliskan welcome di pintu masuk gedung apapun.
Begitu pula aku akan menyapa 'Welcome!' pada tahun ini.

"Selamat datang di kehidupan baru, Anda akan menghadapi hidup yang lebih nyata!!"

Sedetik hati bergetar dan otak sedikit mematung. Waktu yang terlalu cepat berlalu atau memang aku yang tidak merasa sudah saatnya bersikap lebih dewasa. Usia sudah berkepala dua tapi masih berlaku seperti anak baru pubertas: nonton kartun, nonton drama Korea yang membuat ingin punya pacar tapi setelah dipikir tidak mau pacaran untuk saat ini, fangirling, melakukan hal bodoh, banyak komentar, tertawa yang tampak tidak lucu tapi itu sebenarnya lucu! Orang lain saja yang tidak mengerti, level humor kita berbeda.

Kembali berpikir, "Ya Tuhan, aku sudah besar".

Memasuki semester enam di perkuliahan. Gila. Sumpah. Kaget. Tahun depan lulus. Rasanya baru kemaren sore di ospek senior lalu terpeleset dari meja dan jadi lelucon di tiga angkatan. Sekarang menertawakan junior sudah menjadi pekerjaan ketika suntuk. Tiga tahun terlewat begitu singkat, masa mudaku berlalu begitu cepat. Bahkan sudah dianggap terlalu tua oleh anak sekolah. Satu kata: Nikmati.

Tapi, kini sudah bukan saatnya untuk hanya menikmati, selain itu, pelajari.
Problem makes you tough. Pisau saja bisa tajam akibat ditempa, dipukul-pukul, dan diasah,
Sebilah besi bisa sangat berguna karena tangan manusia. Nah, manusia bisa berguna karena apa
Karena diri sendiri, ada kemauan, ada usaha, dan tak lupa berdoa. TanpaNya, kita hina.
Diri sendiri merupakan penyelamat pertama di dunia untuk pribadi.
Gimana? Bingung ya? Begitu pokoknya.

Yang menjadi masalah ketika memasuki tahun baru yang tampak begitu menyeramkan adalah degdegan, takut tidak bisa menghadapi mata kuliah yang semakin beringas. Maka muncul perasaan tidak nyaman, kemudian kehilangan percaya diri.
Ada satu quote bersabda: "Love yourself first, so you know what you deserve"
Sulit adalah mencintai diri sendiri. Padahal hal itu merupakan persoalan mendasar. Nyatanya, jika sudah mencintai diri kita apa adanya, kemudian mengetahui potensi yang dimiliki, maka everything is well. Mulai dari melakukan hobi atau mengerjakan sesuatu yang dulu sempat rutin lalu menghilang dan munculkan kembali! Siapa tahu bisa meredam rasa degdegan dan lebih percaya diri untuk menghadapi semester yang ganas ini,

Aku suka puisi, menulis sajak atau cerita, baca buku sastra, crafting, bermain warna, bahkan masak, dan ada beberapa hal yang sempat menghilang yaitu menjahit dan melukis. Ada yang masih sering dilakukan dan sedang mencoba kembali mengkatrol hobi-hobi lucuku yang dulu. Selain mengasah kemampuan untuk perbekalan bertarung, lagi lagi, siapa tahu bisa menjadi motivasi atau inspirasi di tahun ini. Semoga saja.

Kembali berpikir, "Ya Tuhan, aku bukan anak kecil lagi".

Berpikir lebih tenang dan dewasa karena sudah berada di tahap karakter yang sudah terbentuk, tinggal mencari jalan keluar, akan menjadi apa nanti dan apa cara terbaik untuk menjadi berguna. Ditambah sudah memasuki usia produktif, harus rajin ditempa dan diasah, seperti sepenggal kisah pisau di atas.

Senang rasanya bisa kembali berbagi setelah kemaren terbaring hampir mati.
Semoga semesterku dan semestermu menyenangkan.
Semoga degdeganku dan degdeganmu hilang.
Dan semoga no more worries!

So, keset!!

Sunday, January 1, 2017

Kamu di Penghujung Tahun

Meledak-ledak tapi singkat
Letupanmu berusaha mengacaukan setiap detak jantung
Percikanmu memecah ruah di angkasa dan membinar di mata

Kamu yang sekelebat indah lalu hilang entah kemana
Meninggalkan bau hangit, meracuni oksigen, dan bodoh kuhirup dengan mudahnya

Bila mendekat, aku terluka
Dan kamu tak bisa berbuat apa-apa
Karenanya, indahmu sulit kugapai
Hanya dapat aku kagumi dari jauh dan aku pandang dari balik jendela