Sialnya, aku harus membahas hal ini lagi, karena ini adalah hal yang paling dicemaskan saat beranjak dewasa. Bosan aku mendengarnya.
Terakhir, di 2019, tulisanku bercerita bahwa aku cemas, menghadapi quarter life crisis. Sungguh klise. Saat itu aku baru menempuh usia awal dua puluh tahunan, sekarang usiaku hampir tiga puluh. Sudah cukup usia untuk memiliki pikiran yang bercabang hingga tumbuh tunas-tunas cemas yang baru.
Cemas itu masih berlangsung sampai detik kamu membaca tulisan. Akan tetapi, aku tersadar bahwa terjebak dalam ruang kecemasan ini tidak berangsur membuatku lebih baik. Aku tersadar betul bahwa harus benar-benar keluar dari pasung besi yang terus menjerat dan membuatku gak kemana-mana, hilang arah.
-
Menghilang hampir empat tahun dari blog ini, banyak sekali hal yang terjadi. Tidak semuanya perlu diceritakan, karena akan terdengar melelahkan dan banyak kejutan. Aku yang dulu penuh ambisi, mengisi hari-hari dengan berbagai macam kegiatan, yang sebenernya hanya sebagai distraksi dari akar masalah. But, it works by the way, it makes me alive.
Tetapi, empat tahun ke belakang malah terlalu banyak distraksi sehingga ambisi itu tenggelam. Menjalani hari-hari biasa saja. Masih dikasih bernafas oleh Tuhan pun sudah syukur senangnya. Akibat cemas bertahun-tahun, jadi berpikir “Don’t be too busy thinking about the future but live in the present.”, tapi kalimat ini juga jadi tertanam menahun sampai aku merasa nyaman untuk jadi mediocre. Gak punya mimpi, gak punya cita-cita. Merasa gak apa menjadi mediocre, gak lebih dan gak kurang. Ya, menjalani hari-hari biasa saja.
Sampai ada masanya, teman-temanku menikah, punya anak, punya pekerjaan layak, dapat beasiswa, membangun rumah, dan adegan dewasa lainnya yang dimataku sangat amat terlihat fantastis. Beginikah kehidupan menjelang kepala tiga?
Kalau kamu berniat untuk menceramahi, “Life is not a competion, Al.” Iya, pikiran sehatku pun sering berkata itu sampai bosan. Lagi-lagi Si Mediocre ini malah cemas karena merasa biasa saja dan gak punya tujuan. Tolong, aku terjebak di lingkaran setan yang gak ada habisnya.
-
Pernah merasa agak iritated dengan media sosial yang isinya adalah pencapaian-pencapaian orang lain. Terdengar gak punya empati dan gak suportif, ya? I do really happy for my friends but it’s kinda stressful. Dan akhirnya memutuskan untuk melakukan social media break.
Seminggu berlalu, aku rasa ini adalah sebuah kesalahan. Ada banyak false belief dalam benak dan jadi agak kesulitan untuk filterisasi mana hal yang lebih tepat untuk diyakini. Rasanya percuma berdiskusi dengan psikolog untuk mendapatkan sudut pandang baru tapi tidak betul-betul mengilhami dan memahami apa yang terjadi dalam diri.
-
I think this is a wake up call. Kembali mengingat wejangan dari para psikolog yang pernah bantu meluruskan benang kusut: hal penting dari diri adalah bukan mengejar mimpi, melainkan menjalankan nilai-nilai personal yang sesuai dengan apa yang diyakini. Kemudian, merefleksikan kembali nilai apa yang selaras dengan melakukan riset dengan objektif: to reliving myself again.
The goals are destination, values are the journey.
The process is more important than the goal.
The person you become an infinitely more valuable than whatever the result is.
-
Ternyata selama ini, aku sibuk menuliskan mimpi-mimpi, berharap apa yang dicita akan tercipta. Padahal tidak selalu, kemudian kecewa. Tanpa sadar, jadi sibuk pula membandingkan dengan mimpi dan pencapaian orang. Begitulah cemas terbentuk.
So, here I am, kembali menulis untuk melepaskan kecemasan, mencoba menjalani nilai-nilai dan menikmati semua proses sebagai perjalanan. Meski cemas nanti datang lagi, tapi mungkin nanti akan cepat terhempas. Dan mulai menanamkan pikiran “I’m making a progress in the present, for the destination awaits.”
Lalu, apakah aku masih mau jadi mediocre?
I think my true Leo energy isn’t suited for that character.