Saturday, June 22, 2024

Hal-Hal Untuk (Tidak) Menjadi Mediocre

Sialnya, aku harus membahas hal ini lagi, karena ini adalah hal yang paling dicemaskan saat beranjak dewasa. Bosan aku mendengarnya.

Terakhir, di 2019, tulisanku bercerita bahwa aku cemas, menghadapi quarter life crisis. Sungguh klise. Saat itu aku baru menempuh usia awal dua puluh tahunan, sekarang usiaku hampir tiga puluh. Sudah cukup usia untuk memiliki pikiran yang bercabang hingga tumbuh tunas-tunas cemas yang baru.


Cemas itu masih berlangsung sampai detik kamu membaca tulisan.  Akan tetapi, aku tersadar bahwa terjebak dalam ruang kecemasan ini tidak berangsur membuatku lebih baik. Aku tersadar betul bahwa harus benar-benar keluar dari pasung besi yang terus menjerat dan membuatku gak kemana-mana, hilang arah.


-


Menghilang hampir empat tahun dari blog ini, banyak sekali hal yang terjadi. Tidak semuanya perlu diceritakan, karena akan terdengar melelahkan dan banyak kejutan. Aku yang dulu penuh ambisi, mengisi hari-hari dengan berbagai macam kegiatan, yang sebenernya hanya sebagai distraksi dari akar masalah. But, it works by the way, it makes me alive.


Tetapi, empat tahun ke belakang malah terlalu banyak distraksi sehingga ambisi itu tenggelam. Menjalani hari-hari biasa saja. Masih dikasih bernafas oleh Tuhan pun sudah syukur senangnya. Akibat cemas bertahun-tahun, jadi berpikir “Don’t be too busy thinking about the future but live in the present.”, tapi kalimat ini juga jadi tertanam menahun sampai aku merasa nyaman untuk jadi mediocre. Gak punya mimpi, gak punya cita-cita. Merasa gak apa menjadi mediocre, gak lebih dan gak kurang. Ya, menjalani hari-hari biasa saja.


Sampai ada masanya, teman-temanku menikah, punya anak, punya pekerjaan layak, dapat beasiswa, membangun rumah, dan adegan dewasa lainnya yang dimataku sangat amat terlihat fantastis. Beginikah kehidupan menjelang kepala tiga?


Kalau kamu berniat untuk menceramahi, “Life is not a competion, Al.” Iya, pikiran sehatku pun sering berkata itu sampai bosan. Lagi-lagi Si Mediocre ini malah cemas karena merasa biasa saja dan gak punya tujuan. Tolong, aku terjebak di lingkaran setan yang gak ada habisnya. 


-


Pernah merasa agak iritated dengan media sosial yang isinya adalah pencapaian-pencapaian orang lain. Terdengar gak punya empati dan gak suportif, ya? I do really happy for my friends but it’s kinda stressful. Dan akhirnya memutuskan untuk melakukan social media break.


Seminggu berlalu, aku rasa ini adalah sebuah kesalahan. Ada banyak false belief dalam benak dan jadi agak kesulitan untuk filterisasi mana hal yang lebih tepat untuk diyakini. Rasanya percuma berdiskusi dengan psikolog untuk mendapatkan sudut pandang baru tapi tidak betul-betul mengilhami dan memahami apa yang terjadi dalam diri. 


-


I think this is a wake up call. Kembali mengingat wejangan dari para psikolog yang pernah bantu meluruskan benang kusut: hal penting dari diri adalah bukan mengejar mimpi, melainkan menjalankan nilai-nilai personal yang sesuai dengan apa yang diyakini. Kemudian, merefleksikan kembali nilai apa yang selaras dengan melakukan riset dengan objektif: to reliving myself again.


The goals are destination, values are the journey.

The process is more important than the goal. 

The person you become an infinitely more valuable than whatever the result is.



-


Ternyata selama ini, aku sibuk menuliskan mimpi-mimpi, berharap apa yang dicita akan tercipta. Padahal tidak selalu, kemudian kecewa. Tanpa sadar, jadi sibuk pula membandingkan dengan mimpi dan pencapaian orang. Begitulah cemas terbentuk.


So, here I am, kembali menulis untuk melepaskan kecemasan, mencoba menjalani nilai-nilai dan menikmati semua proses sebagai perjalanan. Meski cemas nanti datang lagi, tapi mungkin nanti akan cepat terhempas. Dan mulai menanamkan pikiran “I’m making a progress in the present, for the destination awaits.


Lalu, apakah aku masih mau jadi mediocre

I think my true Leo energy isn’t suited for that character.

Friday, September 25, 2020

Kepingan Potong Rambut

Tiba-tiba, teringat akan sesuatu yang dulu sering dilakukan dan baru saja terjadi lagi, seakan mengulang memori dan ternyata masih sangat melekat erat hingga mengundang rindu. Mari mundur agak jauh, ketika aku masih berseragam putih biru.


-


Pagi di akhir pekan dengan riuh suara kartun favorit, dapur yang sibuk, dan bau detergen menyengat. Aku menunggu ayah agak santai, karena setiap Sabtu atau Minggu pagi, ayah selalu pergi ke pasar, beres-beres kebun, atau berkegiatan bapak-bapak lainnya. Padahal, beliau baru saja pulang dari ibukota malam sebelumnya. Setelah agenda paginya selesai, aku masuk ke agenda ayah yang selanjutnya: potong poni.

Dulu memiliki poni adalah keharusan, biar terlihat imut dan super cute ketika difoto atau ngobrol sama gebetan. Seperti hormon yang sedang bergejolak ketika masa pertumbuhan, begitu pula rambut yang terlalu cepat panjang. Gak asik dong, lagi siap-siap mau genit tapi mata kecolok poni. Jadwal potong poni bisa sampai sebulan sekali, bahkan dua minggu sekali. Aku juga dulu kebingungan, kenapa tumbuhnya cepet banget. Jadi ayah sudah ahli untuk memangkas poni yang sudah off-side ini, sisir dan gunting tersedia, tinggal tunggu aba-aba.

Dengan membawa kursi bakso, aku menunggu ayah di teras rumah dan poni siap untuk dieksekusi. Kadang jadi tegang dan cemas, takut poni kependekan atau ujung gunting gak sengaja kena mata, tapi kan bukan srimulat ya. Ayah selalu potong dengan hati-hati dan teliti. Gak sampai lima menit, pandanganku udah gak terhalang lagi dan hasilnya selalu rapi, semacam pakai cetakan baskom kalau kata orang. Sehabis itu, giliran aku yang bekerja untuk sapu sisa-sisa rambut di lantai.


-


Sekian waktu berlalu. Wajah ini gak perlu lagi poni untuk terlihat lucu, bahkan udah gak peduli model rambut apa yang sedang tren saat ini. Semenjak memilih jalan untuk berhijab, model bob pendek jadi juara. Siapa juga yang peduli? Sekalipun botak, gak akan ada yang lihat.

Beberapa waktu lalu, ada masanya rindu rambut panjang. Yang dikata orang hitam, panjang dan tebal bak model-model iklan shampoo di televisi. Semenjak itu, aku memutuskan kembali untuk membiarkan rambut ini tumbuh tanpa dipangkas, berharap masa kejayaan rambutku kembali seperti dulu. Sayangnya kondisi gak seprima zaman sekolah, usia bertambah, pikiran juga. Ditambah konsumsi obat yang menyebabkan rambut berguguran, memenuhi lantai dan berserakan setelah disisir. Rambut panjang jadi salah satu faktor, terlalu berat katanya. Terpaksa harus potong pendek lagi seperti beberapa tahun ke belakang.

Di saat krisis tanggal tua, pergi ke salon untuk sekadar potong rambut pun jadi perkara. Kebetulan ayah sedang di rumah, kemudian aku membuat permintaan yang sama saat dulu masih sekolah. Aku khawatir, apa beliau masih ingat cara memotong rambut anaknya? Dan ternyata, rasanya masih sama. Saat menempatkan posisi di kursi bakso dan terdengar suara gunting di sebelah telinga, banyak memori yang terpanggil. Aku merasa masih sangat belia yang merengek minta poninya digunting. Tegangnya masih sama, tapi sekarang lebih takut hasilnya gagal dan ujungnya harus tetap ke salon. Sekitar lima belas menit, operasi selesai dan setelahnya aku sapu bersih rambut-rambut yang habis digunting.

Meskipun dengan hasil seadanya, tapi ikatan itu masih erat. Kepingan kenangan sekitar sepuluh tahun lalu masih tertanam dan masih sangat jelas dibayangkan. Aku masih anak perempuan kecil ayah, yang masih banyak minta. Dan kejadian ini menimbulkan pertanyaan: akankah ketika aku dewasa, ayah akan berbuat sama?

Friday, May 24, 2019

Banyak Hal Yang (Seharusnya Gak Perlu) Dicemaskan

Apabila sebagian orang mengeluhkan tentang quarter life crisis, aku pun gak mau ketinggalan untuk ikut bersuara. Mungkin sedikit basi untuk dibahas tapi ini realitanya. Masih ada yang terjebak dan hilang arah di masa peralihan, dari remaja labil bau matahari menuju dewasa awal yang belum dewasa-dewasa amat.

Here I am, baru mau menginjak angka dua puluh tiga di tahun ini. Aku pikir masih cukup belia untuk haha hihi sana sini, ternyata belia-belia-engga bahkan gak belia sama sekali! Tapi aku masih bisa haha hihi kok, menertawakan hidup multigenre. Banyak drama, minim laga, tapi alhamdulilah ada sedikit bubuk-bubuk romansa yang menghibur. Tuhan memang Maha Membolak balikan keadaan umatNya, makanya hidup itu sebenarnya penuh komedi, bercanda aja terus. Maafin aku Ya Tuhan, aku bercanda. Berkepala dua itu pusing bukan main, dikira bisa hidup bebas berekspresi, melakukan segala sesuka hati, menjalani hari-hari produktif bagai muda berbahaya. Tidak semudah itu, kadang aku merasa sedang dalam bahaya. Seketika mengencangkan sabuk pengaman dan menggenggam erat, takut terpelanting karena roller coaster akan bersiap memutari relnya.

Hidup itu nano-nano, rame banget rasanya, apalagi setelah menjejaki kehidupan setelah kuliah. Saking ramenya jadi pusing, bingung, ini rasanya gimana, sih? Katakanlah senang, bisa bekerja, meniti karir sesuai cita-cita dan mencari penghasilan sendiri supaya tidak merasa bersalah ketika dihabiskan untuk foya-foya. Tapi sebenarnya adalah beban dipundak bertambah massa dengan mengekornya gelar sarjana, berusaha untuk mengamalkan ilmu selama empat tahun supaya gak jadi percuma. Karir pun jauh sekali dari apa yang diinginkan, sulit sekali untuk digapai. Semuanya bertolak belakang dengan harapan.

Apa kata orang nanti? Apa aku bisa sehebat orang lain? Apa yang aku cari selama ini? Kok rasanya gak sesuai? Perasaan cemas ini selalu melekat layaknya bayangan karena rencana gak selamanya mulus dan glowing, terutama di jam-jam kritis menjelang malam. Tiba-tiba merenung dan diserang pikiran-pikiran gak penting yang seharusnya gak ada di otak tapi malah terlintas, menetap, dan mengacak-acak. Rasanya semakin berat karena jauh dari orang tua, satu persatu teman mulai berpencar untuk mengawali hidup baru, dan orang-orang yang tampak bahagia di media sosial. AKU HARUS BAGAIMANAAA?

Ketika amarahku sedang bergejolak, hati yang kian hari kian kotor akibat iri dan dengki melihat orang masih bisa dengan mudahnya cerah sumringah, sedangkan aku terpuruk. Jadinya suka agak malas bermain media sosial, banyak orang sombong, padahal aku tahu mereka gak sebahagia seperti terlihatnya, sama saja. Aku agaknya terlihat menyedihkan tapi lebih condong menjijikan. Aku yang memilih jalanku untuk terlihat bagai terpuruk, padahal bisa saja aku masa bodoh dengan semua ini. Bukan masa bodoh dengan kehidupanku tapi masa bodoh dengan kehidupan orang lain. Sudah mencoba berkali-kali tapi tetap saja cemas, cemas, dan cemas.

Gak tahu bagaimana cara untuk menghilangkan cemas ini. Bisa sih, menyibukkan diri, mencari kegiatan seru, terutama yang menghasilkan cuan. Itu seru banget. Cemas bisa ditinggalkan, walau dia terkadang datang lagi, menepak pundak. Cemas ini ada karena kita belum terbiasa dan belum bisa beradaptasi dengan kondisi serta masalah baru yang menetapkan kita berada di ambang jurang. Sebenarnya ini pun gak perlu terlalu dicemaskan karena semua akan berlalu dengan sendirinya, meskipun penuh dengan tumpah keringat dan air mata deras. Yakin semua pasti berlalu, quarter life crisis akan berakhir dan digantikan dengan midlife crisis. HAHA. Bercanda. Tapi iya, kan? Duh, aku cemas lagi. Cemas ini wajar ketika peralihan, bahkan kalau gak cemas malah berbahaya bukan? Jadi, gak perlu lagi cemas ketika sedang cemas, tapi jangan berlebihan. Semua itu normal di masa peralihan.